Senin, 18 November 2013

DIRIMU YANG SATU

Andai kau tahu
Apa isi hatiku ini ?
Apa yang ku rasakan saat ini ?

Jika kau bisa merasakan
Ku mohon... balas rasa ini !
Ku mohon ungkapkan rasa yang ada di hati mu !

Andai kau  tahu...
Hanya dirimulah yang ada di hati..
Hanya nama mu yang terukir di jiwa ..
Hanya wajah mu yag ada di bayangan ku...

Dirimu yang satu ...
Telah menebar cinta di hatiku
Telah membagi rasa indah di hati
Walau hanya aku yang merasakan

Cinta itu timbul ...
Saat ku lihat dirimu
Dan tiba-tiba saja rasa itu timbul
Di hati ku.......karna hanya dirimu di hati ...

Minggu, 22 September 2013

Tugas Sastra



 
SENYUM KARYAMIN
Oleh: Ahmad Tohari

Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material di atas sana. Karyamin sudah berpengalamnn agar setiap perjalanannya selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanannya pun hams dilakukan dengan baik. Karyamin hams memperhitungkan tarikan napas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna.
Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh, lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan selarnat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di alas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesal tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
"Bangsat!" teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
"Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus," kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.
"Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya."
"Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut?. Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendi­ri!"
Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya  yang  hanya  berisi  hawa.   Dan  mata  Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu dan selalu gagal mereka tangkap.
"Min!" teriak Sarji. "Kamu diam saja, apakali kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar palia?"
Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol komenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang, Karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, Karyamin merasa demikian terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyamin sadar, dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.
Jadi, Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.
"Masih pagi kok mau pulang, Min?" tanya Saidah. "Sakit?"
Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
"Makan, Min?"
"Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang."
"Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?"
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
"Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?"
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
"Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?" tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
"Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan."
"Iya Min, iya. Tetapi...."
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Kar­yamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang.
Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri dihati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin Ingat hahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak pantatnya. "Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang."
Karyamin mencoba berjalan Lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang kunang menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Kar­yamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Kar­yamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak menga­pa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.
Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Kar­yamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian.
Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik motif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.
"Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Di pangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?"
"Menghindar?"
"Ya. Kamu memang mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau  lebih lama kaupersulit."
Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar, Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi Karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang hams dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.
"Kamu menghina aku, Min?"
"Tidak,  Pak. Sungguh tidak."
"Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana  uang iranmu?"
Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kempong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.



Selasa, 27 Agustus 2013

TUGAS SASTRA

 
Artist/Band: Iwan Fals
Judul : Bung Hatta


Tuhan terlalu cepat semua kau panggil satu2nya
Yang tersisa proklamator tercinta
Jujur lugu dan bijaksana mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Untuk Indonesia


Hujan air mata dari pelosok negeri saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu

Terbayang batinmu
Terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa Sederhanamu

Bermisan Bangga
Berkafan Do'a dari kami yang merindukan orang sepertimu


Hujan air mata dari pelosok negeri saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu


Senin, 01 Juli 2013

Rumah Mbak Bella



Kring…kring…kring…
Terdengan bunyi telefon dari ruang kamar itu, setelah beberapa detik pun bunyi itu mulai berhenti. Sepertinya tidak ada yang mendengarnya kecuali aku, yah hanya aku seorang diri yang mendengarnya. Berjalan menuju ruang kamar itu, aku intip lewat jendela kamar yang terbuka tirainya. Sepertinya tidak ada orangnya, tapi gemercik dari kamar mandinya terdengar sangat jelas.
Braaak…
Suara dari pintu depan. Ternyata hanya anak tikus yang  jatuh dari atas genting itu, sangat menjijikan tak sempat aku mengambilnya, melihatpun sudah terasa jijik. Masih penasaran siapa yang ada di kamar mandi itu? Mungkinkah pemilik kamar ini.
Permisi, sedang apa anda berada disini.
Suara itu sedikit membuat aku kaget dan sedikit takut, ku tengok kebelakang. Iya pak, saya sedang liat-liat kamar ini kok.
Hati-hati jangan kamu membuka pintu ini! “suara tegas”
Memang kenapa pak, aku hanya penasaran dengan ruangan kamar ini. Misterius sekali!
Ikuti saja kataku! “pergi begitu saja tanpa meninggalkan satu katapun.”
Terlihat cahaya yang begitu padam di selatan sana. Menengok dengan tatapan tajam, ternyata sesosok wanita tua renta membawa obor yang amat besar. Aku berjalan ke arahnya dan berkata padanya.
Sedang apa anda di sini. “menatap wanita itu”
Hanya diam saja.
Aku bingung siapa sebenarnya wanita ini, penuh kemisteriusan dan sedikit menyeramkan. Hah cuek saja, anggap saja dia hanya nenek tua yang hendak pergi mencari makan!
Sebaiknya aku kembali kerumah untuk malam ini, sudah begitu larut aku berada di tempat sepi ini, tak terasa sudah jam 23.11, sebelum aku di cari oleh ibuku aku akan segera pulang.
Tengak tengok, sepi seperti di hutan sunyi sekali. Hanya satu dua sepeda motor dan mobil yang lewat, sedikit takut. Jarang aku keluar malam sampe jam segini, terus berjalan.
Bruuk.
Deg…deg…deg
Jantungku berdetak kencang, kaget ternyata ibuku sudah terlebih dahulu mencariku.
Kamu kemana saja nas, ibu bingung mencari-cari kamu dari tadi gak ketemu. “kawatir”
Ma..ma…af bu, aku tadi abis liat rumah yang ada di seberang sana. Kelihatannya bagus, tapi sayang sepi sepeerti tidak ada orangnya.
Huussh kamu itu ngapain sampe sana, sudah ayo pulang sudah larut malam ini.

Ayam sudah mulai berkokok dan semua orang yang ada di kota itu mulai beraktifitas  seperti biasa, dan aku juga harus menyiapkan sarapan untuk ibuku, kasian semalam sudah mencariku.
Anas… di mana kamu.
Kemercik dari kamar mandi, ku matikan air kran sejenak karena mendengar suara ibu.
Iya bu, sedang mandi.
Ibu berjalan ke meja makan, terlihat sudah banyak makanan di sana. Mungkin Anas yang memasaknya, duduk sambil menunggu anaknya itu selesai mandi.
Saatnya bekerja, aku mau mencari kerja bu. Ibu di rumah saja jaga diri baik-baik. Sekarang giliran Anas yang bekerja.
Hati-hati kamu kalau mencari kerja yang pas sama ijazah kamu, jangan aneh-aneh.
Siap bu ! “bersalaman”
Saat berjalan aku melewati rumah itu lagi, kenapa sampe sekarang lampunya masih padam? Apa benar sudah tidak ada penghuninya lagi. Anas semakin penasaran dan ingin melihat-lihat rumah itu, tapi Anas juga harus mencari kerja dulu.
Saatnya pulang sudah hampir magrib, Anas berfikir untuk mengitari rumah itu, tau aja dia bisa dapat informasi dari rumah itu.
Hey, sedang apa kau disana! “terdengar suara yang lantang dari arah jalan”
Akupun menghampiri orang itu dan bertanya?
Pak, ini sebenarnya rumah siapa iya? Aku hanya pengen tau, karena terlihat sangat asing sekali.
Tak perlu tau, ini rumah seorang wanita yang dulu bekerja d pojokan gang itu. Dan sudah tidak ada orang yang menempati lagi, saya juga tidak tau kemana wanita itu sekarang, karena sudah beberapa bulan tidak pernah kembali.
Tapi pak, kenapa rumah ini selalu bersih dan lampunya padam terus.
Iya saya juga tidak tau nak, orang-orang bilang dia sudah meninggal lama, di tinggal keluarganya juga. Mungkinkah dia gila atau sudah meninggalpun saya tidak tau. Suatu saat pasti ada orang yang akan memberi tau bapak kepala desa di mana wanita ini berada.
Oh, iya terima kasih pak informasinya sekarang aku sudah tau semua, dan mungkin akan mencari tau siapa wanita ini sebenarnya biar jelas dan gak ada yang terganggu lagi.
Ya hati-hati saja nak, semoga kamu bisa menemukannya. “pergi meninggalkan Anas”

Anas terlihat bahagia saat pulang kerumah. Memeluk Ibunya, menyium kening Ibunya.
Bu aku sudah tau semua tetang rumah yang semalam aku datangi itu.
Sudahlah nak, kamu itu buat apa mencari tau asal-usul rumah itu, kan gak penting juga buat kamu.
Penting bu, buat penelitian ku bulan ini.
Terserah kamu aja lah nas.

Malam ini aku keluar lagi pergi ke rumah bapak kepala desa untuk menanyakan rumah itu tadi.
Dok…dok..dok..
Assalamualaikum
Waalaikumsalam
Masuk kerumah kepala desa itu.
Ada apa dek, malam-malam kok ke sini.
Begini pak aku hanya ingin tau pasti saja tentang rumah sebelah sana itu sebenarnya rumah siapa dan siapa penghuninya, soalnya aku sering memandang rumah itu penasaran juga dengan rumah itu. Aku pengen membuat penelitian tentang rumah itu, sepertinya bagus.
Iya itu rumah mbak Bella sebenarnya, mbak Bella ini seorang yang cantik, baik hati, ramah, dan banyak yang suka dengannya. Tapi sayangnya…
Di potong begitu saja sama Anas. Tapi apa pak.
Tapi sayangnya dia di aniaya oleh preman-preman yang ada di daerah kerjanya itu, preman itu bilang suka sama mbak Bella, tapi mbak Bellanya menolak dengan mentah-mentah. Nah akhirnya mbak Bella meninggal di sana. Mungkin rumah itu tidak berpenghuni, tapi arwah mbak Bella masih ada di sana.
Oh, iya benar kayaknya pak, soalnya rumah itu mesti terlihat rapi dan bersih. Aku juga heran kenapa bisa seperti itu. Terima kasih ya pak atas informasinya kali ini. Saya pamit dulu, maaf sudah mengganggu malam-malam.
Iya gak apa-apa, Bapak senang kok ada yang maen dan bisa bercerita banyak di rumah Bapak, soalnya jarang lho remaja seperti adik ini mencari tau hal yang seperti ini.
“tertawa kecil” iya pak, lain kali saya kesini lagi.

Sepulang dari rumah kepala desa itu aku berjalan pelan-pelan,dan berfikir  semoga ada hal yang menarik lagi untuk bahan penelitianku.

Jumat, 14 Juni 2013

CINTA

Hei ?
Apa kalian pernah tau apa itu sebuah CINTA
hanya sebatas ucapan belaka
sebuah CINTA sulit untuk d lakukan oleh setiap orang
karena CINTA itu banyak mustahilnya
dan hati-hati saja dengan yang namanya CINTA
sangat sakit jika kau merasakan CINTA yang sesungguhnya

tapi jangan salahkan CINTA
saat kalian merasa tersakiti
karena rasa sakit itu kalian sendiri yang membuatnya
kalian tak pernah tau bagaimana cara memiliki CINTA
berikan kasih sayang, kehormatan, kesetiaan, pengertian, pengorbanan, saling mengalah satu sama lain

mungkin itulah sebuah CINTA 


Rabu, 10 April 2013

Tugas SASTRA

1. Tuliskan beberapa realitas sosial yang ada disekitarmu !
2. Diantara realitas sosial itou, manakah salah satu yang paling banyak brersinggungan dengan orang lain.
3. Ubahlah realitas sosial tersebut menjadi sebuah cerita pendek ( sangat pendek ) sesuai dengan realita yang ada ( nama boleh fiktif )

Jawab !

1. a. Merokok dikalangan sekolah
    b. Penggunaan narkoba dikalangan sekolah
    c. Berhubungan seks diluar nikah
    d. Pencurian dikalangan masyarakat
2. sekarang ini banyak remaja yang melakukan hubungan seks diluar nikah.
3. Minah merupakan seorang penjual jamu didesa x, Minah dikenal oleh setiap pelanggannya. Dewi adalah anak pertamanya yang dulu bersekolah di SMP x. Minah ini juga tidak selalu mementingkan pekerjaannya, tetapi akhir-akhir ini Minah sering marah-marah dan membiarkan Dewi pergi pulang seenaknya. dan tidak mengerti apa yang dilakukan Dewi diluar sana.
Setelah beberapa bulan Dewi tidak pernah berangkat sekol;ah. Minah ibunya dipanggil oleh kepala sekolah. Setelah dipanggil Dewi yang berada dirumah ditanya oleh Minah "kenapa kamu tidak pernah berangkat sekolah, ngapain aja kamu gak berangkat itu."
Tidak berapa lama Minah mendengar dari orang kampungnya bahwa Dewi itu hamil, dia sangat malu karena kenapa dia tau dari orang gak dari anaknya sendiri.
Tidak berapa lama Minah membawa Dewi pergi keluar kota untuk membesarkan anaknya itu, karena dia tidak mempunyai biaya untuk menggurkannya.. 

Rabu, 16 Januari 2013


Tukinem dan Tas Kreseknya

Siang itu aku sedang berada didepan rumah, saat itu aku melihat seorang wanita tua membawa sebuah tas kresek yang mesti berada di sebelah tangan kanannya itu. Wanita tua itu sering melintasi jalan raya depan rumahku, aku sering menyapanya dan sekali menyapa disitu juga wanita tua itu malah marah-marah tidak jelas sama saya.
Orang-orang kampung saya sering menyebut wanita tua itu orang gila yang tinggal disebuah gubuk pinggir jalan raya. Karena wanita tua itu sering ngomong sendiri dan sering memakan apa saja yang ada di sekelilingnya. Wanita tua itu berjalan-jalan di pinggir jalan dan tidak lupa membawa tas kreseknya itu untuk mencari uang recehan, sekali dia dikasih uang lembaran dia tidak mau menerimanya. Di pinggir jalan wanita tua itu bertemu dengan seorang anak kecil, anak kecil ini bertanya kepada wanita itu. Mbah namane sinten nggeh. “kata anak kecil itu” Wanita itu menjawab dengan suara lirih. Tukinem “kata wanita tua itu” Anehnya Tukinem tidak marah-marah sama anak kecil itu, mungkin Tukinem berfikir kalau anak kecil itu seperti cucunya sendiri. Tapi kenapa kalau sama anak seusia ku mesti kena marah sama Tukinem. Hmmm, penuh tanda  Tanya besar ?
Setelah subuh  aku meluangkan waktu untuk  lari-lari pagi, tidak sengaja aku melintasi gubuk yang didiami oleh Tukinem. Plaaak, di sekitar jalan raya banyak sebungkus makanan yang beterbangan. Subhanallah “kataku, sambil menengok ke arah sebelah kanan ingin tau apa yang di lakukan oleh Tukinem”. Tidak sengaja aku mendengar Tukinem berbicara sendiri “neng ndi nok-nok, kok rag bali mrene”. Kata itu yang diucapkan oleh Tukinem.  Sambil meninggalkan tempat Tukinem aku berlari-lari kecil menuju rumah.
Gerimis kecil-kecil, Tukinem tidak lupa membawa Tas Kreseknya berjalan menuju ke sebuah warung. Dia hanya mengambil sebungkus tempe, seperti biasa Tukinem membayar dengan uang recehannya, Tukinem bertanya kepada penjualnya “regane piro”. Sambil memandangi Tukinem penjual itu menjawab “sewu mbah”. Menyodongkan uang recehannya yang sudah dia hitung, ternyata uangnya kurang dua ratus rupiah. Kurang rongatus mbak “kata Tukinem lirih”. Nggeh mboten napa-napa mriki mbah “judes penjual”. Tukinem tertawa kecil sambil memandangi penjual.
Menuju gubuknya, memasukkan tempe itu kedalam tas kreseknya. Bersandar disebelah rumah dekat penjual bebek goreng, sering Tukinem dan tas kreseknya sering berada disitu. Penjual bebek goring itu keluar dan membawa sebungkus kerupuk, diberikan kepada Tukinem. Tukinem memasukkannya k etas kreseknya itu dan kembali kegubuknya. Tidak sabar Tukinem ingin segera memasaknya, sambil berjalan Tukinem sesekali mengambili sebuah botol-botol bekas. Sesampai di gubuknya tas kreseknya itu penuh dengan botol-botol bekas.
Setiap kali pergi Tukinem tidak pernah lupa untuk membawa tas kreseknya tersebut.  Berhari-hari Tukinem sering melakukan hal itu, entah sampai kapan Tukinem akan setia dengan tas kreseknya itu.