Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari
·
Sinopsis
Trilogi ronggeng dukuh paruk merupakan kontribusi baru yang penting bagi
studi kesusasteraan sejarah Indonesia karena di dalamnya mengandung komplikasi
persoalan dengan aspek-aspeknya yang menarik bagi pengembangan hubungan
kesastraan dengan sejarah sosial. Dalam hal ini, terlihat dari kekhasannya yang benar-benar
menceritakan berbagai kronologi dan problema yang hadir dalam
sebuah kebudayaan asli yang terdapat di Banyumas, Indonesia. Ronggeng dukuh paruk dapat dikatakan sebagai simbol
verbal yang diselimuti dengan penggunaan bahasa imajinatif oleh pengarang
supaya pembaca dapat memahami fenomena kehidupan pedesan yang dituangkan
sebagai bentuk pencitraan kembali dengan daya imajinasinya.
Novel tersebut menggambarkan keterpurukan rakyat kecil dari berbagai unsur sosial, politik, psikologi dan budaya yang dilengkapi dengan konflik kejiwaan para tokoh yang beragam. Dari semua
unsur tersebut diramu melalui cerita hilangnya sebuah tradisi ronggeng, kemiskinan desa, serta romantika percintaan yang menyatu
dalam jalinan cerita yang sangat koheren.
Cerita ini berawal dari suatu desa terpencil, Dukuh
Paruk
yang kering kerontang telah menampakan
kehidupannya kembali ketika Srintil menjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk yang merupakan keturunan Ki Secamenggala,
seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka menganggap bahwa kehadiran
Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya karena dukuh paruk hanya lengkap bila di sana ada
keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng
bersama perangkat calungnya (Hal. 16).
Srintil adalah potret anak dukuh paruk
yang yatim-piatu akibat bencana tempe bongkrek. Enam belas penduduk meninggal
karena memakan tempe yang terbuat dari ampas kelapa tersebut. Tak terkecuali juga
kedua pembuat tempe
itu, yaitu kedua orang tua Srintil. Setelah malapetaka itu terjadi, Srintil yang masih bayi kemudian
dipelihara oleh kakek neneknya, Sakarya suami istri, sampai pada akhirnya
mereka menyadari ternyata Srintil memiliki indang ronggeng sehinnga kakek
Srintil menyerahkannya kepada dukun ronggeng yang bernama Kartareja. Srintil menggantikan ronggeng sebelumnya atas restu arwah Ki Secamenggala dengan melewati berbagai tahap-tahap untuk
menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Pedukuhan yang sepi itu pun kembali bergairah sejak Srintil
dinobatkan menjadi ronggeng baru
menggantikan ronggeng yang meninggal dua belas tahun yang lalu. Sekejap
Srintil telah menjadi
primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan jati dirinya.
Banyak sekali yang bahagia atas kehadiran ronggeng Srintil. Namun, hal itu
tidak dirasakan oleh Rasus yang sangat benci dan kecewa menerima
kenyataan bahwa
Srintil benar-benar
menjelma menjadi seorang ronggeng. Sebab, Srintil adalah perempuan yang sangat
dicintainya dan
sebagai tempatnya untuk menggambarkan sosok emak yang tidak diketahuinya.
Setelah Srintil
benar-benar menjadi seorang ronggeng, Rasus kehilangan sosok emaknya dan
berfikir bahwa Srintil bukan lagi miliknya sendiri, melainkan milik semua orang. Ia pun kemudian meninggalkan dukuh
paruk dan bertempat tinggal di desa Dawuan, tempat yang dijadikan sebagai
pengasingan diri dari adat dukuh paruk. Di desa tersebut,
membuat pandangan Rasus banyak berubah. Setelah itu, Rasus
bertemu dengan kelompok tentara sehingga membuat Rasus tergabung menjadi serdadu.
Pengenalan atas dunia perempuan yang dialami di
Dawuan pun banyak membuat pandangan terhadap Srintil sebagai tokoh
bayang-bayang ibunya bergeser jauh, bahkan berhasil disingkirkannya. Oleh
karena itu, ketika Rasus ditawari oleh Srintil untuk menjadi suaminya ia
menolak. Menurutnya, dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberikan sesuatu yang paling
berharga bagi Dukuh Paruk; ronggeng!. (Hlm. 107). Dengan keputusanya itu, Rasus yakin bahwa ia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan Emak,
bayangan yang selama ini membuatnya resah.
Atmosfer
politik menjelang tahun 1965 mengubah
sendi-sendi kehidupan Dukuh Paruk. Pedukuhan yang selama ini hanya mengenal
suara calung dan tembang ronggeng itu mulai disusupi paham-paham dan
lambang-lambang partai. Awalnya karena rombongan ronggeng pedukuhan itu sering
diundang naik pentas di tengah rapat umum dan kampanye politik oleh kelompok
partai komunis. Namun sesungguhnya Srintil yang tidak tahu apa tujuan dari semua itu telah dijadikan umpan penarik massa dalam rapat-rapat
propaganda. Peristiwa G30S PKI meletus dan
keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding
sebagai antek komunis karena seringnya mereka meramaikan kampanye politik partai
itu. Dukuh Paruk kemudian hancur bersama kobaran api, pedukuhan itu menjadi
tumbal kemarahan terhadap PKI.
Dalam lintasan hidupnya secara tidak dimengerti oleh Srintil, ia terlibat
dalam kekalutan politik 1965. Srintil yang sedang naik daun, harus meringkuk di
dalam penjara sebagai tahanan politik karena dianggap sebagai pendukung PKI
melalui berbagai pementasan ronggengnya. Srintil
mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu
berhenti pada gerak bibir seperti orng hendak menangis. Lama sekali wajahnya
berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak
hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang
kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa
roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orang-orangan diembus angin (Hal.
241).
Setelah dibebaskan dari penjara, Pengalaman
pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya
sebagai manusia. Srintil berniat memperbaiki citra dirinya, meninggalkan
dunia ronggeng, dan menata hidup sebagai perempuan yang tidak mau dimiliki oleh
semua orang, ia ingin menjadi istri dari seorang lelaki dengan mengharapkan
kehadiran Rasus. Letih menunggu Rasus, ternyata Bajus muncul dalam
hidupnya dan sepercik harapan
pun timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Srintil
berharap Bajus menikahinya. Akan tetapi, harapan itu hancur ketika Bajus yang
terkesan akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng
yang boleh dimiliki oleh semua lelaki. Hancur leburlah hati Srintil tak kuat
menahan penderitaan batinnya sampai ke titik nadir, Srintil
kemudian menjadi gila yang pada akhirnya menyisakan luka di hati Rasus.
·
Gambaran tokoh Srintil (protagonis)
Gambaran
Fisik: Srintil digambarkan sebagai seorang
gadis cantik yang bertubuh langsing, dan berkulit putih.
Gambaran
Karakter: Srintil digambarkan sebagai seorang
gadis yang polos, senang menari, bersemangat dan baik hati. Srintil adalah
gadis yang tidak tahu malu dan cabul.
Kutipan
yang mendukung: “Pada usia empat belas tahun aku
berani mengatakan Srintil cantik” hal 36. “Sore itu Srintil menari dengan mata
setengah tertutup. Jari tangannya melentik kenes. Ketiga anak laki-laki yang
menggiringnya menyaksikan betapa Srintil telah mampu menyanyikan banyak
lagu-lagu ronggeng” hal 13. Karena diusir dengan halus aku pun pulang. Dalam hati
aku mengumpat: bajingan!” hal. 37. “Srintil takkan mengerti hal itu. Dan sekali
lagi kukatakan Srintil tak bersalah. Maka untuk menjawab pertanyaan, kukatakan,
“Srin, kau dan aku sama-sama menjadi anak Dukuh Paruk yang yatim-piatu sejak
kanak-kanak. Kita senasib” hal 50.
·
Peranan tokoh Srintil dalam tradisi
ronggeng.
Ronggeng adalah tradisi pada sebuah
desa, Dukuh Paruk yang memiliki makna sosial dan spiritual. Sosial karena
berurusan dengan kehidupan sosial masyarakat pada saat itu beserta segala
tradisinya, dan sakral karena berkiblat oleh kesakralan makam Ki Secamenggala
(hal 10). Disitu menyuarakan peranan Srintil sebagai ronggeng sebuah desa milik
bersama yang sangat berharga, Srintil sangat menyadari hal itu bahwa ia adalah
seorang ronggeng yang harus selalu tampil sempurna dan dapat memikat setiap
jiwa lelaki. Begitu berharganya kehadiran seorang ronggeng, sampai-sampai para
istri tidak pernah merasa cemburu bila suaminya menjamah Srintil, bahkan mereka
menjual apa saja guna bisa bersama Srintil meski hanya satu malam. Pernyataan
ini diperkuat dengan kutipan “Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan
bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang
perempuan. ”Jangan besar cakap,” kata yang lain. ”Pilihan seorang ronggeng akan
jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal
dikalahkan.” ”Tetapi
suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.”
”Aku yang paling tahu tenaga suamiku, tahu?” “Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa
menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku
akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.”
(hal 38).
Jiwa keronggengan yang didapat Srintil
adalah gratis, ia tidak belajar dari siapaun. Dari kecil ia memang suka manari
dan sangat lihai melakukanya, dari sinilah Srintil dianggap mendapat indang
dari Ki Secamenggala Di pedukuhan
itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran.
Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh
indang telah merasuk tubuhnya, indang adalah semacam wngsit yang dimuliakan di
dunia peronggengan (hal. 13). Kesenangan Srintil meronggeng terlihat pada
kutipan “Mulut Rasus dan kedua temannya
pegal sudah. Namun Srintil terus melenggang dan
melenggok. Alunan tembangnya terus mengalir seperti pancuran di musim hujan”. (hal 13)
Tekat Srintil
untuk menjadi ronggeng sudah bulat, ia menjalani segala tata upacara dan
persyaratan yang harus dilaluinya dengan seksama, meskipun itu susah ia tetap
menjalani ketiga persyaratan itu dengan sepenuh hati sebelum resmi menjadi
seorang ronggeng. Pertama Srintil harus mementaskan sebuah ronggeng di hadapan
masyarakat Dukuh Paruk. Masyarakat menyambut antusias akan kabar ini setelah
bertahun-tahun adat ronggeng seperti menghilang ditelan bumi di desa mereka.
Nyai Kertareja yang bertaggungjawab akan Srintil malam itu, ia mendandani dan membacakan
mantera pada ubun-ubun Srintil “Di halaman rumah kartareja ronggeng
bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi dan
tarian erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak mengeluarkan
seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas biasa.
Tetapi merupakan bagian dari upacara sakral yang dipersembahkan kepada leluhur
Dukuh Paruk”
(hal 45). Yang kedua, Srintil harus dimandikan di makam Ki
Secamenggala, makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Dukuh Paruk “Kemudian di sana Srintil menyembah dengan takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan
lingkaran para penabuh” (hal 46). Yang ketiga adalah bukak
klambu, calon ronggeng harus menjalani upacara bukak klambu. Semacam sayembara
bagi setiap lelaki yang bisa membayar paling mahal maka ia akan mendapatkan
keperawanan Srintil. Mulai dai sinilah timbul kebimbangan di hati Srintil
karena ia terlanjur jatuh cinta pada rasus. Ia tau, ini adalah hal yang berat
baginya dan juga wanita-wanita lain. Namun hukum adat tetap harus dilaksanakan.
Tidak disangka, Srintil mengingkari persyaratan ketiga ini, ia pergi kerumah
Rasus dan meminta Rasus untuk menggaulinya tanpa syarat apapun. Srintil lebih
rela bila keperawananya jatuh pada orang yang ia cintai, menurutnya itu lebih
tepat. Sejak kejadian itu, Rasus pergi dari desanya karena ia merasa tidak
mematuhi lagi hokum adat yang berlaku sudah sekian lama “Langkahku tegap dan pasti. Aku, Rasus sudah
menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya
akan kutinggalkan.” (hal 106).
Pandangan Srintil mengenai ronggeng Dukuh Paruk, dimana ia mencintai seorang
lelaki dan ingin hidup denganya tidak tewujud. Ronggeng tidak boleh terikat
pada seorang lelaki, ia tidak boleh menikah, juga tidak boleh hamil. Dan dia pun
kini benar-benar seorang ronggeng, bermartabat, berkedudukan, dan kaya raya.
Tidak lama kejayaan itu bagi Srintil, ia mulai jenuh dengan kehidupan ronggeng
yang dijalaninya. Ia tetap masih mencintai Rasus, ia membutuhkan Rasus, bahkan
ia selalu mencari Rasus hingga kehilangan separuh selera hidupnya. Pada
hiruk-pikuk kehidupan Srintil yang terombang-ambing inilah mul tokoh Goder,
seorang bayi yang tidak tau apa-apa, yang lemah namun memberikan kekuatan luar
biasa pada Srintil untuk merubah jalan hidupnya lagi. goder adalah sosok nyata
yang tidak bisa didapatkan Srintil secara nyata. Tradisi ronggeng semakin
dibalikan oleh Srintil, hilam, tenggelam, dan tiada. Kini ia bukanlah seorang
ronggeng Dukuh Paruk yang selalu diagung-agungkan lagi. Ia mulai menjalani
kehidupan barunya bersama Bajus, lelaki yang berusaha ia cintai. Ketika hampir
berhasil ia mengalihkan pandangan dari Rasus, ternyata Bajus menghianati
Srintil dengan menjualnya pada seorang mandor dan menuduh Srintil adalah bagian
dari PKI. Srinti, ronggeng, dan jiwa sehatnya teah hilang.
Novel “Tarian
Bumi” karya Oka Rusmini
·
Sinopsis
Cerita bermula ketika Luh Sekar
berobsesi menjadi seorang yang berdrajat tinggi, dan untuk memnuhi obsesinya
itu, dia melakukan banyak cara. Luh Sekar terlalu mengagungkan nilai-nilai
kebangsawanan, dia berfikir menjadi bagian dari keluarga besar “griya”
drajatnya lebih tinggi dibanding perempuan sudra lainnya.
Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya.
Setelah Jero Kenangan menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, maka lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Ida Ayu Telaga Pidada adalah seorang penari oleg yang tidak terkalahkan. Ida Ayu Telaga Pidada kemudian menikah dengan Wayan Sasmitha yang seorang sudra, pernikahan itu dilarang. Karena dianggap menimbulkan malapetaka. Dan dari pernikahan itu Telaga melahirkan Luh Sari.
Ketika Wayan Sasmitha meninggal, hal ini dianggap sebagai malapetaka yang ditimbulkan dari pernikahan campuran. Dan malapetaka itu akan hilang jika Telaga melakukan upacara patiwangi, upacara penanggalan gelar kebangsawanan. Setelah upacara itu, dilangsungkan Telaga menjadi wanita sudra seutuhnya.
Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya.
Setelah Jero Kenangan menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, maka lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Ida Ayu Telaga Pidada adalah seorang penari oleg yang tidak terkalahkan. Ida Ayu Telaga Pidada kemudian menikah dengan Wayan Sasmitha yang seorang sudra, pernikahan itu dilarang. Karena dianggap menimbulkan malapetaka. Dan dari pernikahan itu Telaga melahirkan Luh Sari.
Ketika Wayan Sasmitha meninggal, hal ini dianggap sebagai malapetaka yang ditimbulkan dari pernikahan campuran. Dan malapetaka itu akan hilang jika Telaga melakukan upacara patiwangi, upacara penanggalan gelar kebangsawanan. Setelah upacara itu, dilangsungkan Telaga menjadi wanita sudra seutuhnya.
·
Kedudukan Telaga dalam novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini
Dalam kegemerlapan kehidupan di Bali,
tedapat suatu adat yang sidegang teguh
masyarakat Bali hingga sekarang, yaitu kasta atau kelas sosial. Kasta memiliki
empat tingkat, mulai dari sudra sebagai kasta terendah sampai kasta brahmana
sebagai kasta tertinggi di Bali. Tentu saja kasta dalam kehidupanya
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya mulai dari segi sosial maupun adat.
Sudahlah jelas, kasta tertinggi akan mendapat tempat di mata masyarakat dan
kasta terendah bukanlah siapa-siapa. Disini Oka Rusmini menguak tentang segi negatif
dari keberadaan kasta di Bali yang mau tak mau harus mengendalikan pengikutnya
secara berlebihan, bahkan mengenai hati dan perasaan, mereka harus tetap
berpegang teguh pada kasta atau golongan mereka masing-masing “Aku capek jadi perempuan miskin, Luh. Tidak
ada orang yang menghargaiku. Ayahku telibat kegiatan politik, Sampai kini tak
jelas hidup atau matikah dia. Orang-orang mengucilkan aku kata mereka, aku anak
penghianat. Anak PKI ! yang berbuat ayahku yang menanggung beban aku dan
keluargaku. Kadang-kadang aku berfikir kalau kutemukan laki-laki itu aku akan
membunuhnya...!” (hal 22). Oka Rusmini juga menjadikan perempuan sebagai objek
penggambaranya karena dinilai sangat strategis dan sarat akan kehidupan nyata mereka, yang dapat mengetuk
hati pembaca agar tahu dibalik kemeriahan Pulau Bali terdapat adat yang sungguh
menyakitkan yang bisa menyiksa lahir maupun batin pengikutnya. Tidak hanya dari
kasta sudra yang menderita, perempuan dari kasta brahmana pun bisa menderita,
bahkan dianggap pembawa petaka “Berkali-kali
tiang berkata, menikah dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan.
Sekarang anakku mati! Wayan tidak pernah mau mengerti. Ini bukan cerita
dongeng. Ini kebenaran. Kalau sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi !”
Luh Gumbreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang. Telaga
adalah potret gambaran perempuan kasta brahmana di Bali yang kaya, seorang
terpandang namun tidak bahagia. Ialah korban kebudayaanya sendiri, penggolongan
kelas sosial atau kasta, ia jalani hidup dengan penerimaan namun ketidak
patuhan, antara apakah harus menyerah atau mendambakan kebebasan namun tak
pernah ia dapatkan kebebasan sempurna. Kisah demi kisah Telaga lalui untuk
mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan yang ia yakini, meski berat hal yang
harus ia jalani, yaitu upacara Peti Wangi atau penanggalan gelar Ida Ayu-nya
seperti yang dibuktikan paragraph empat terakhir novel nerjudul “Tarian Bumi” “Telaga mulai mebuka bajunya. Dia hanya mengenakan kain sebatas dada.
Seorang pemangku mengucapkan mantra-mantra. Kaki perempuan itu diletakkan pada
kepala Telaga, tepat diubun-ubun. Air dan bunga menyatu. Kali ini, Telaga
merasakan air dan bunga tidak bersahabat dengannya. Air menulsuk-nusuk
tubuhnya. Bunga-bunga mengorek lebih dalam lukanya. Sebuah upacara harus
dilakukan demi ketnangan keluarganya. Dmi Luh Sari, Telaga telah dianggap
sumber malapetaka dan kesialan keluarga Gumbreg.
Air itu mulsi menguasai tubuhnya seperti ratusan tombak tajam. Telaga menggigil.
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran tu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” Dalam kenyataanya, gender pria atau wanita bukan ditentukan daari segi biologis ketika mareka lahir melainkan dari hokum adat yang mengikatnya. Jadi, sesungguhnya dapat kita simpulkan bahwa perempuan-perempuan di Bali sangat kuat dalam menghadapi segala cobaan yang datang menghampirinya, mereka selalu menomorduakan kepentinganya dibawah kepentingan adat atau hokum-hukum pengikat.
Air itu mulsi menguasai tubuhnya seperti ratusan tombak tajam. Telaga menggigil.
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran tu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” Dalam kenyataanya, gender pria atau wanita bukan ditentukan daari segi biologis ketika mareka lahir melainkan dari hokum adat yang mengikatnya. Jadi, sesungguhnya dapat kita simpulkan bahwa perempuan-perempuan di Bali sangat kuat dalam menghadapi segala cobaan yang datang menghampirinya, mereka selalu menomorduakan kepentinganya dibawah kepentingan adat atau hokum-hukum pengikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar